Asmara
kerap tumbuh dengan tidak direncanakan. Bahkan kehadirannya sering
tidak terduga. Tapi bila sudah bersemi, tak ada kekuatan yang
dapat memisahkannya. Ia akan menembus segala sekat pemisah, seperti
perbedaan status, umur, latar belakang, jarak dan waktu. Ia bisa
berakhir indah, tapi tak jarang menyeret seseorang ke dalam
lorong-lorong gelap tak berujung. Keadaan seperti inilah yang aku alami, setelah terbelit tali asmara dengan Galuh, siswi salah satu sekolah kejuruan.
Sebelumnya
aku perkenalkan diri. Namaku Joshua, tapi lebih sering dipanggil Jossy.
Dengan bermodal ijazah sarjana ekonomi dari salah satu perguruan tinggi
di Jawa Timur serta pendidikan bisnis di Sangpura, saat ini aku bekerja
di salah satu perusahaan jasa pelayaran. Dari perusahaan, selain aku
mendapat gaji yang memadai, juga berbagai fasilitas serta bonus,
sehingga secara ekonomi aku cukup mapan.
Anehnya,
kendati ditempat kerjaku banyak wanita cantik, namun bagiku tak ada
yang menarik. Aku pun tetap sorangan wae hingga menapak usia 37 tahun.
Aku baru benar-benar merasakan nikmatnya cinta setelah bergaul dengan
seorang seorang gadis ABG (Anak Baru Gede).
Kejadiannya
bermula, dengan kehadiran 5 siswi salah satu SMEA di Jakarta di
kantorku untuk melakukan PKL. Mereka adalah Galuh, Anita, Sandra, Tuti,
dan Dita. Oleh manajemen, mereka diperbantukan di bagian operasi, yang
tempatnya agak jauh dari ruangan bagian keuangan tempat kerjaku. Namun,
karena hampir setiap hari mereka harus menyampaikan laporan ke tempatku,
maka selalu ada kesempatan untuk bertemu.
Diantara
mereka, Galuh yang agak mirip dengan Winda kekasihku saat masih di
SMA.. Terus terang, sejak pertemuan pertama aku sudah tertarik pada
Galuh, yang nama lengkapnya “Galuh Puteri Candrakirana,”
puteri seorang perwira polisi asal Klaten Jawa Tengah itu. Hidung yang
bangir, bibir sensual, sedikit tahi lalat dipipinya,
kata-katanya lembut membuat ia tampak sempurna di mataku. Ia memang
mudah akrab denganku, bahkan banyak menyangka aku sedang PDKT dengan Galuh yang usianya 18 tahun lebih muda dariku. Tapi
apa pun sangkaan rekan-rekan, aku hiraukan. “Masa bodo, mau bilang apa,
kek, aku tetap pada tugasku” pikirku. Tapi setelah lebih dari seminggu,
aku lihat sikap dan tingkat Galuh semakin membuat aku terpesona. Aku pun semakin care padanya.
Suatu ketika, bersama Galuh dan Sandra, temannya datang
ke meja kerjaku. Awal, hanya bertanya tentang sesuatu yang ada
hubungannya dengan keperluannya, mungkin karena merasa sudah akrab,
Galuh juga menanyakan nomor ponselku. Permintaannya kupenuhi, tapi
sambil guyon aku katakan, asalkan ia mau menemaniku nonton film midnight
di satu gedung bioskop. Herannya, ia tak menolak dan juga tak
mengiyakan. Hanya senyuman yang penuh arti tersungging di wajahnya. Aku
tidak bertindak lebih jauh, maklum di kantor harus jaim (jaga imej), agar tidak mendapatkan masalah.
Tapi
tak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Kami pun menuju kantin untuk
makan siang. Baru saja aku selesai makan, Galuh mendekatiku dan berbisik
“besok kan libur, bapak aku tunggu di depan supermarket, dekat toko buku sekitar jam 09.00 pagi. Ada yang ingin saya bicarakan, ” katanya.
Sesuai
dengan permintaan Galuh, esoknya aku tunggi ia di depan toko buku, dan
tak lama kemudian ia muncul. Ia tampak anggun dan sexy dalam balutan
kaus ketat putih dipadu dengan celana panjang warna gelap.
“Udah
lama nunggu ya, Pak ?,” tanya Galuh. “Jangan panggil Bapak, donk, ini
kan bukan di kantor. Panggil saja, Jossy,” jawabku. “Baiknya kita kemana
Pak ee,, Jossy,” tanya Galuh seraya mendekatiku.
“Up to you, emang mau ngomongin apaan, kok kayaknya raqhasia banget,” aku balik bertanya. “Nggak juga Joss, aku hanya ingin dekat dengan kamu, karena aku senang kamu,” jawab Galuh.
“Kenapa
kamu senang aku, apa alasannya,” aku kembali bertanya. “Aku juga nggak
tahu, tapi setiap dekat dengan kamu terasa ada getaran dihatiku,” jelas
Galuh.
Mungkin
karena rasa senang, tanpa sadar kuraih badannya dan kupeluk ia. “Aku
juga suka kamu, Lih,” kataku sambil merapatkan tubuhnya ke badanku.
Merasa tidak enak dilihat orang lain, Galuh melepaskan dirinya dari
pelukanku. “ Kita ditempat umum, tidak enak dilihat orang,” kata Galuh.
“Kalau begitu, kita cari saja tempat yang cocok untuk berduaan,” kataku
dan Galuh mengiyakannya.
.
Akhirnya, memesan kamar di salah satu hotel, karena hanya disitu kami
bebas berduaan tanpa takut dilihat orang lain. Kamarnya cukup lumayan,
ada TV dan AC. “Enak juga ya Joss, kita bisa ngobrol berduaan disini,
tanpa takut terdengar atau terlihat oleh orang lain,:” kata
Galuh sambil merebahkan badan di ranjang. Ia kemudian menyalakan TV dan
memilih siaran, sementara aku memesan makanan dan minuman ringan
melalui aiphon.
Lantunan lagu-lagu nostalgia dari Trio Ambisi yang disiarkan TV kian membuat hati terasa romantis.
Sesaat
setelah room boy kembali dari mengantarkan pesanan, aku rebahan di
ranjang di samping Galuh.Tapi ia justru bangun dan duduk di tepi
ranjang, dan bertanya: “Jossy, apakah Galuh salah bila mencintai kamu.
Sebagai wanita, aku sebenarnya malu mengutarakannya, tapi aku nggak kuat
untuk menahannya. Maafin aku ya, kalau dianggap salah dan telah
mengganggu hari libur kamu,” kata Galuh.
Sungguh, aku terharu mendengar kejujuran dan kepolosannya. Dan setelah
mendengarkan ungkapan apa yang ada dihatinya, sambil ku belai rambut
dan kuusap punggungnya, aku pun meyakinkannya, bahwa semua yang dialami,
adalah wajar, jika seseorang mencintai lawan jenisnya, dan tidak ada
yang namanya salah, jika sudah menyangkut perasaan hati.
Ketika dia menatapku dengan tatapan yang tajam, secara perlahan aku mencium keningnya. Tapi, yang
aku lakukan justru dibalasnya dengan ciuman penuh gairah. Galuh melumat
bibirku, dan seperti seseorang yang tidak mau kehilangan sesuatu, dia
memelukku dengan erat sekali.
Sambil
terus menikmati bibirku, tangannya terus mengelus dan mengusap seluruh
bagian tubuhku. Mungkin beginilah cara dia mengungkapkan rasa sayangnya
terhadap diriku. Tapi, dengan itu aku justru yang jadi bingung bahkan
semakin repot, karena hanya dengan melihat tubuhnya yang masih
berpakaian lengkap (saat dikantor) sudah cukup membuat aku terangsang,
terbakar api birahi yang membara. Sedangkan kini, aku tidak hanya
melihat dan membayangkannya tapi sudah langsung merasakan hangatnya
tubuh Galuh, wanita yang sedang bergeliat dalam dekapan cintaku.
Makanan
dan minuman yang baru diantar room boy, pun terasa sudah tak menarik
lagi, terutama ketika detak jantung Galuh terasa semakin memburu,
sehingga getarannya kian menggugah kelaki-lakianku.
“Luh,
aku sungguh mencintaimu. Aku tak mau kehilangan kamu,” bisikku membuat
tubuh Galuh semakin bergetar, sementara tangannya kian merayap ke semua
bagian badanku. Kami pun semakin larut dalam adegan percintaan, bersamaan dengan menurunnya kadar kesadaran dan daya kendali diri. Kami baru tersadar bahwa saat itu, kami berpelukan dalam keadaan tanpa busana, bahkan telah melakukan hubungan badan.
Kulihat,
cairan bening menitik di mata Galuh. “Mas, aku mencintaimu. Aku baru
pertama kali melakukan seperti ini, semata-mata demi cintaku yang tulus
pada, Mas,” ucap Galuh terisak. “Aku juga sama, Luh. Aku ingin
menjadikanmu pasangan hidupku seumur hidup,” jawabku seraya menghapus
peluh di badannya dengan tisu.
Setelah
sudah agak tenang, kuajak ia bicara tentang kelanjutan hubungan kami.
“Luh, kita sudah terlanjur melakukan sesuatu yang hanya pantas bagi yang
sudah menikah. Aku akan bertanggung jawab, karena itu yang perlu kita
pikirkan, bagaimana agar orang tuamu merestui hubungan kita,” kataku.
“Bahkan, sedapat mungkin kita segera menikah setelah kamu lulus EBTANAS.
Aku janji, setelah menikah, kamu boleh melanjutkan ke perguruan tinggi,
asalkan anak kita tidak terabaikan,”
Galuh
tak menjawab sepatah kata pun, namun pelukannya terasa kian mengencang.
Bagiku hari itu terasa amat indah. Baru setelah magrib, kami chek out
dari hotel, dan kuantar Galuh hingga di depan rumahnya.
Meski
sejak itu hubungan kami kian mesra, namun di kantor kami tetap bersikap
biasa-biasa saja sehingga tak seorang pun rekan kerja mengetahui telah
terjalin hubungan asmara antara kami berdua. Setelah melewati masa PKL,
Galuh pun kembali ke sekolah. Namun hubungan asmara antara aku dan dia
terus membara. Setiap kesempatan selalu kami manfaatkan untuk memadu
cinta.
Beberapa
bulan kemudian, pengumuman hasil ujian Ebtanas. Galuh sengaja datang
menemuiku untuk menyampaikan berita gembira sekaligus cukup mengagetkan
yakni ia lulus Ebtanas, dan hasil pemeriksaan dokter
ia positif telah hamil 2 bulan. Sesuai dengan janjiku, maka aku segera
melamarnya, dan setelah melewati berbagai kendala –antara lain sikap
orang tuanya yang berat menerima lamaranku karena perbedaan usia yang
sangat jauh— akhirnya kami menikah.
Kini,
Galuh, mantan siswi peserta PKL telah jadi isteriku, ibu dari dua orang
anak buah cinta kami. Ia juga telah menyandang gelar sarjana ekonomi,
dan kemungkinan akan melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2, di sela-sela
kesibukkannya mengurus rumah tangga dan mengajar di salah satu lembaga
pendidikan menengah. (PL)